Grassroots community based organization. Most members are former user. We fight for DRUG USER'S RIGHTS !

Monday, May 12, 2008

Satu perlawanan, satu perubahan!

Di bawah ini adalah surat Dita Indah Sari, Ketua Umum Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), yang ditulis dari dalam penjara Orde Baru Soeharto untuk 1998 International Women's Day.
Kepada Semua Patriot Perempuan, Kaum Buruh dan Proletariat yang teguh berjuang !
Surat ini aku tulis jauh dari dalam sebuah penjara yang disediakan oleh rejim Soeharto, yang telah berkuasa selama 30 tahun lebih, untuk orang-orang seperti kami, yang berjuang sekedar untuk demokrasi buat rakyat kami dan kaum buruh yang sudah lama dihisap dan diperas oleh sistem ekonomi politik yang dijalankan oleh diktaktor Soeharto !
Delapan Maret tahun ini kawan-kawan semua berkumpul lagi untuk menundukkan kepala bagi semua kaum pejuang yang telah gugur dalam perlawanan terhadap sistem dunia yang menindas rakyat, khususnya kaum perempuan. Perjuangan kita belumlah tuntas, dan tak akan tuntas sampai suatu saat kaum perempuan duduk sederajat dengan kaum pria sebagai klas pekerja yang akan menjalankan sistem dunia yang adil dan sejahtera !
Bagi kaum perempuan Indonesia, beberapa bulan terakhir ini menjadi bukti akan kekuasaan imperialisme atas rakyat, yang telah diperkosa oleh rejim Orde Baru diktaktor Soeharto. Hampir semua ibu-ibu harus berhadapan dengan ekonomi yang mencekik karena kebangkrutan ekonomi Orde Baru. Anak-anak yang kekurangan makanan bergizi, harga susu yang melonjak sangat tinggi, biaya pendidikan yang tidak terjangkau, pemutusaan hubungan kerja, dan jutaan pengangguran. Semuanya kami lewati setiap harinya di bawah cengkraman diktaktor Soeharto !
Lewat surat yang aku tulis ini, ingin kuteriakkan 'Perlawanan !' agar kalian mendengar penderitaan rakyat kami, khususnya kaum buruh dan perempuan yang hidup setiap harinya didera oleh kekejaman Soeharto. Perjuangan kami ini tidak akan bisa teprisahkan dari doa dan perjuangan kawan-kawan internasional. Kita satu. Walaupun kami yang di Indonesia lebih menderita, tapi aku percaya bahwa kita satu dalam barisan untuk sebuah masa depan yang lebih baik dan adil bagi umat manusia, rakyat, kaum buruh, dan tentu saja kaum perempuan !
Sudah saatnya kita lebih solid dalam menyusun barisan, menyusun taktik dan strategi yang lebih kongkret bagi perlawanan kaum perempuan, khususnya kelas pekerja perempuan, terhadap sistem dunia yang akan memangsa anak-anak kita. Kapan lagi kalau bukan sekarang ! Beritahu padaku rencana perjuangan dan agenda ke depan kita, agar semuanya itu tetap menjadi api penerang di dalam penjaraku, menjadi percik semangat di dalam sanubariku !
Kaum patriot !
Partaiku, Partai Rakyat Demokratik (PRD), bukanlah partai yang besar. Organisasi,ku Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), bukan juga sebuah organisasi yang besar, karena kami lahir dan tumbuh di bawah kekuasaan diktaktor yang sudah membunuh tiga juta rakyatnya. Namun, aku yakin bahwa Partaiku dan Organisasiku, dengan sekuat tenaga akan bergandeng tangan, berjuang bersama semua orang dalam solidaritas Internasional. Karena besar harapan kami, kemenangan ada di tangan kita , semua orang yang tertindas, kaum buruh dan kaum perempuan di seluruh negeri !
Kawan-kawanku satu perjuangan !
Usulanku adalah diperlukan segera adanya sebuah Komite Kerja Internasional (International Steering Committee) yang menyatukan gerakan-gerakan solidaritas yang berkesinambungan di seluruh negeri yang menuntut perbaikan sistem perburuhan di negeri-negeri seperti Indonesia. Harus ada tuntutan demokrasi bagi rakyat yang menderita dibawah rejim-rejim diktaktor, seperti Soeharto. Jangan biarkan para diktaktor dan kaum kapitalisnya dapat tertidur nyenyak. Kitalah kaum perempuan, kaum pekerja perempuan yang harus mempelopori pembebasan rakyat di seluruh negeri, karena penderitaan yang kita pikul tidak boleh menimpa anak dan cucu kita !
Maafkan aku karena aku masih harus menjalani hari-hariku di dalam penjara Soeharto, dan tidak bisa terlibat aktif dalam perjuangan kita. Biarlah doa dan harapanku yang keluar dari jeruji -jeruji ini bersatu bersama kawan-kawan seperjuanganku yang aku cintai !
Sekian surat pendekku ini !
Salam Juang dari kaum buruh Indonesia dan kaum perempuannya !
Salam kami dari Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan dari Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Satu Perlawanan, Satu Perubahan !
Demokrasi Atau Mati !
Indonesia, 3 Maret 1998

Dita Indah SariPusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI)
Ketua Umum
From:
PRD - EUROPE OFFICE
prdeuro@xs4all.nl
Mon, 09 Mar 1998 01:22:06 +0100

Sunday, May 11, 2008

Hak-hak tersangka


KUHAP membedakan pengertian istilah TERSANGKA & TERDAKWA. Hal itu dituangkan dalam Pasal 1 butir 1 dan 15 sebagai berikut :
- TERSANGKA adalah, seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai tindak pidana ( butir 14 )
- TERDAKWA adalah, seorang tersangka yang dituntut , diperiksa dan diadili disidang pengadilan ( butir 15 )
Lebih lanjut perlu dikemukakan disini bahwa tersangka mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa. Pasal 52 KUHAP : “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.”
Dalam penjelasan pasal itu, jelas yang dimaksud yaitu tersangka tidak boleh dipaksa atau ditekan. Penjelasan itu mengatakan : “Supata pemeriksaan mencapai hasil yang tidak menyimpang dari pada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa”.
Bagaimanapun baiknya peraturan, ia masih akan di uji dalam praktek.Menurut Wirjono Prodjodikoro kebiasaan memaksa bahkan menyiksa tersangka agar mengaku tetap ada dan sukar menghilangkannya.
TERSANGKA atau TERDAKWA diberikan perangkat hak-hak oleh KUHAP mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68. Hak-hak itu meliputi :
1). Hak-hak untuk diperiksa, diajukan ke pengadilan dan diadili ( Pasal 50 ayat (1),(2)dan (3) )
2). Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan ( Pasal 51 butir a dan b )
3). Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dna hakim seperti tersebut dimuka ( Pasal 52 )
4). Hak untuk mendapat juru bahasa ( Pasal 53 ayat (1) )
5) . Hak untuk mendapat bantuan hukum ( pasal 54 )
6). Hak untuk mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi pidana mati dengan biaya cuma-cuma
7). Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya ( Pasal 57 ayat (2) )
8). Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka atau terdakwa yang ditahan ( Pasal 58 )
9). Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangkaatau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau bagi jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga yang dimaksud yang sama diatas ( Pasal 59 dan 60 )
10). Hak untuk dikunjungi sanak keluargayang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa. Untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan ( Pasal 61 )
11). Hak tersangka atau terdakwa untuk berhubungan surat menyurat dengan penasihat hukumnya ( Pasal 62 )
12). Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan ( Pasal 63 )
13). Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge ( Pasal 68 )
14). Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian ( Pasal 68 )
15). Hak terdakwa ( pihak yang diadili ) untuk ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya ( Pasal 27 ayat ( 1) Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman )
Dan masih ada hak-hak tersangka atau terdakwa yang lain, seperti dibidang penahanan, penggeledahan dan lain lain yang dikupas pada bagian tersebut.
*Aditya Faisal W.

Pengkriminalan terhadap pengguna NAPZA, setujukan Anda?



Hubungan antara kriminalitas dengan peraturan sangat erat sekali. Suatu perilaku seseorang dikatakan kriminal diukur dari ada atau tidaknya pengaturannya dalam hukum yang berlaku dan mempunyai sanksi pemenjaraan, dalam sehari-hari biasanya disebut Hukum Pidana. Di sini terkandung nilai “legalitas” yang maksudnya adalah perbuatan seseorang, tidak akan dberi hukuman kalau belum ada aturannya”. Jadi ada dulu peraturannya, baru bisa dikenakan hukuman.

Peraturan yang dibuat oleh manusia mestinya dinamis, kedua Undang-Undang tersebut bukanlah kitab suci yang tidak boleh dan tidak bisa diubah. Kalau tidak sejalan dan tidak pantas untuk kita, apakah kita akan tetap mendiamkannya?


Kritik terhadap:

UU No.22/1997 tentang Narkotika, yaitu pada pasal-pasal:

Pasal 5. “Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya”. Pasal ini menegaskan bahwa semua orang dilarang mengkonsumsi narkotika yang termasuk dalam daftar nama-nama narkotikan golongan I, dan di UU ini terdapat lampirannya, seperti heroin, kokain, ganja.

Pasal 78 ayat (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : point a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman Atau point b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Yang jadi persoalan di sini adalah, bukankah orang yang menkonsumsi narkotika pasti ada saat-saat membawa dan menyimpan narkotika sebelum dikonsumsi. Jadi pasal ini menegaskan bahwa hanya membawa dan menyimpan narkotika bisa dikenai hukuman penjara. Mestinya ada batasan/ukuran narkotika yang dibawa bisa dikategorikan sebagai perbuatan kriminal dan peruntukkannya.

Pasal 82 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal ini selain mengatur mengenai pengedar, termasuk juga pembeli (konsumen), kenapa tidak ada pembedaan antara penjual dan pembeli?


Pasal 85 Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : a. menggunakan narkotika Golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
Ini salah satu pasal yang paling banyak digunakan pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam proses hukum di negara Indonesia. Pasal inilah yang menjadi representataif dalam pengkriminalan terhadap penyalahguna narkotika. Bukankah Drug User adalah korban?

UU No. 5/1997 tentang Psikotropika.

Pasal 62 :Barang siapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 59 ayat (1): Barang siapa :
a. menggunakan psikotropika golongan 1 selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau.
b. mengedarkan psikotropika golongan 1 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
c. mengimpor psikotropika golongan 1 selain untuk kepentingan llmu Pengetahuan; atau
d. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.750.000 000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal ini justru lebih parah, karena menyamakan hukuman terhadap konsumen psikotropika dengan pengedar dan produsen.

Jadi, setujukah anda dengan kedua UU NAPZA tersebut?

Bukankah Drug User secara faktanya telah menjadi korban dalam peradaran gelap NAPZA, sehingga lebih tepat untuk dilindungi dan mendapatkan pengobatan?

Vonis Rehab
Beberapa dasar hukum yang sudah ada dan bisa menjadi alternative hukuman maupun penanganannya, namun dalam prakteknya sangat jarang terjadi:
Keputusan Hakim dalam kedua UU NAPZA,yaitu kewenangan hakim untuk dapat memutuskan terdakwa menuju fasilitas rehabilitasi, namun aturan ini tidak dapat dilaksanakan karena hakim tidak mempunyai peraturan pelaksananya bagi keputusan hakim, hal ini diatur dalam Pasal 42 dalam UU Psikotropika dan pasal 47 dalam UU Narkotika.
Jadi sebenarnya, masih ada pilihan bagi Drug User untuk meminta putusan hakim, ketika disidang agar mendapat putusan rehabilitasi.

Ade Suryana

Wednesday, February 13, 2008

Dalam Perdagangan Narkoba, Perempuan Adalah Korban?


Beberapa kali media massa dan elektronik memberitakan tentang seorang perempuan yang ditangkap pihak kepolisian karena kepergok membawa barang bukti narkoba dan zat adiktif lainnya. Latar belakang kenapa perempuan-perempuan tersebut harus menjadi pengedar narkoba diantaranya adalah karena himpitan tuntutan ekonomi keluarga. Kebanyakan dari mereka yang menjadi pengedar tak berpikir panjang tentang resiko mengedarkan narkoba. Keterbatasan informasi, minimnya akses, dan stereotype perempuan sebagai yang lemah lembut semakin membuka peluang perempuan untuk terlibat lebih jauh dalam pasar narkoba. Akibatnya perempuan sering dijadikan salah satu mata rantai dalam jaringan pengedaran narkoba, karena adanya stereotype produsen yang memandang perempuan tidak akan dicurigai ketika membawa barang-barang ilegal.
Lemahnya posisi perempuan dalam menentukan kebijakan, menjadikan perempuan mudah dikorbankan. Artinya saat ia diciduk pihak kepolisian, mereka relatif tidak melakukan pemberontakan atau mengajukan pembelaan baik secara fisik maupun melalui pembelaan hukum. Jika perempuan tertangkap, rata-rata perempuan tak berbuat macam-macam. Rendahnya pengetahuan terkait narkoba dan hukum menjadikan mereka sebagai elemen tak berdaya dalam mata rantai jaringan pengedaran narkotika, Realitasnya, para perempuan yang tertangkap itu memang tidak memiliki akses informasi seputar seluk beluk narkotika oleh karenanya ia berada dalam posisi yang rentan. Tuntutan kebutuhan rumah tangga yang tak dapat ditunda, akhirnya memaksa perempuan menjadi survivor dalam mengatasi kemiskinan keluarga. Latar belakang itu juga yang terjadi pada perempuan pekerja seks komersial.
Dalam contoh modus jaringan yang dipakai, di antaranya perempuan sering dijadikan sebagai pacar, dijadikan istri oleh laki-laki berkewarganegaraan asing, dipaksa perempuan yang masih memiliki hubungan keluarga, atau ditipu oleh orang dekat, seperti suami, teman, atau saudara. Mereka biasanya dibuai tawaran pergi jalan-jalan ke sebuah negara. Bersamaan dengan itu, mereka juga dijadikan kurir pengedaran narkotika.

Kemiskinan, ketidaktahuan, hubungan kekuasaan yang timpang antara perempuan serta laki-laki, budaya dan lainnya, merupakan faktor yang ditengarai menyebabkan perempuan terperangkap dalam jaringan peredaran narkotika. Perempuan yang dijadikan sebagai salah satu mata rantai jaringan pengedaran narkotika –kurir-, kadang-kadang dipandang sebagai kriminal bukan sebagai korban. Padahal apa yang dilakukannya bukan karena pilihan sendiri, tetapi lebih disebabkan ditipu atau dieksploitasi.
Kemiskinan atau Narkoba yang Menjerat Perempuan
Dunia narkotik kini memang tak lagi menjadi ruang kaum pria. Tahun 2006, Laporan Nasional Estimasi Dewasa Rawan Terinveksi HIV pada Pengguna Napza DKI Jakarta berjumlah 29,350orang, pasangan penasun berjumlah 12, 510orang, dan PWS (Penjaja Seks Wanita 27,370orang. Angka ini menunjukkan bahwa perempuan menjadi kelompok yang intensif bersentuhan dengan narkoba baik dari pasangannya maupun dari para pecan pasar narkoba, penulatan penyakit seksual, juga HIV-AIDS. Nyatanya, perempuan dijadikan seagai media penyamapai barang-barang narkotik, dimana penguasa pasarnya adalah laki-laki. Beberapa kasus telah menunjukkan, pengguna dan pengedar narkoba dilakoni para wanita. Kisah Handayani yang dimuat di detik6.com 25 April 2007 bisa menjadi gambaran. Karena tertekan akibat kelakuan suaminya yang membawa kabur anak semata wayangnya, Handayani berpaling ke narkoba. Dia tertangkap memakai putaw pada suatu akhir di Mal Kelapa Gading, Jakarta Utara, akhirnya dia diciduk satuan pengamanan mal yang menghubungi aparat Kepolisian Sektor Kelapa Gading dengan barang bukti jarum suntik dan beberapa paket putaw. Handayani mengaku memakai barang itu untuk menghilangkan stress setelah rumah tangganya hancur. Namun, seiring penggunaan yang kekerapannya tinggi, ia tak bisa lagi berpisah dengan putaw.
Handayani sebagai pengguna narkoba kemudian harus meringkuk di tahanan. Mungkin juga masih banyak contoh kasus lain yang sama nasibnya dengan Handayani atau mungkin justru lebih parah. Meski sejumlah orang seperti Handayani telah ditangkap dan harus ditahan, apakah telah selesai demikian penanganan kasus narkoba?? Bagaimana dengan jaminan hidupnya dalam penjara? Apakah memang demikian pemerinta –red; aparat—tetap memandang demikian dalam memuntus mata rantai pasar narkoba?? Padahal proses perdagangan barang semakin meluas di masyarakat. Orang yang tahu sama sekali informasi terkat narkoba, justru pada akhirnya menjadi sasaran yang empuk. Lau mana yang lebih signifikan dalam melihat akar persoalannya?

Kenyataannya, pengguna/pecandu lah yang kemudian dijadikan korban, ditangkap untuk ditahan tanpa memberikan jaminan rehabilitasi kepada sang korban. Memang, perdagangan narkoba ini dilakukan berlapis-lapis. Pengakuan Iva dalam berita di liputan6 suatu hari, ia ditangkap karena kedapatan sebagai pengedar. Dia tertarik menjual shabu-shabu karena dijanjikan akan mendapat uang banyak seperti yang dialami temannya. Tapi baru satu bulan menjadi pengedar, polisi menciduknya. Data Rutan Pondok Bambu cukup menguatkan sinyalemen banyak perempuan terjerumus ke dunia narkoba. Sejak Januari hingga Mei 2002, tercatat lebih dari 20 wanita tersangka kasus narkoba masuk mendekam di rutan itu. Angka-angka itu jauh lebih sedikit dibanding kenyataan sebenarnya di masyarakat.

Iming-iming imbalan yang besar dari hasil perdagangan narkoba diduga sebagai daya tarik sebagian besar pengedar narkoba. Tak sedikit ibu rumah tangga menjadi penyalur barang-barang tersebut. Kasus suami istri menjadi pengedar putaw juga pernah terungkap di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Pasangan pedagang rokok itu menjual putaw di dalam bungkus rokok. Belum lagi Setelah menjalani masa tahanan, mungkin saja para pemakai dan pengedar narkoba kembali ke kehidupan normal. Namun, semua pihak hendaknya tak menafikan fakta banyak perempuan yang mengalami ketergantungan narkoba
Mungkin fakta-fakta ini memang selalu dipandang kasuistik, hanya masalah kecil dari sekian masalah. Tapi masalah bukankah tetap menjadi masalah?? Yang pada akhirnya harus dipecahkan. Tentunya pemecahan yang juga memihak perempuan!! (tnh)